Tanah Suci Selayang Pandang


Tanah Suci merupakan bentuk Buddhisme yang paling populer di Asia Timur. Seperti semua mazhab Mahāyāna, ia pertama-tama dan terutama menuntut pengembangan bodhicitta, tekad untuk mencapai Pencerahan demi keuntungan semua makhluk.¹


Bagaimanakah Tanah Suci dipraktikkan?

Bentuk utama pembinaannya ialah Pelafalan Buddha, yang terdiri atas pengulangan kalimat “Amitābha Buddha” atau visualisasi (konsentrasi) atas Buddha ini atau ranah suci-Nya — Tanah Suci-Nya.


Bagaimanakah Tanah Suci bekerja?

  1. Berkat mempraktikkan Pelafalan Buddha dengan batin manunggal, disertaï segenap ketulusan dan keyakinan, sang pembina mengendalikan pikiran kelananya. Ia menyetop arus kontinu dari pemikiran khayali yang dipenuhi keserakahan, kebencian, dan kebodohan, yang merupakan karakteristik batin manusia. Batinnya dengan demikian menjadi kosong dan tenang, dan ia berbangkit. Pelafalan Buddha dalam cara demikian adalah sebuah kung-an — itu adalah sebuah praktik Zen.


  2. Alternatif lain, selama pelafalan dengan batin manunggal, disertaï segenap ketulusan dan keyakinan, sang pembina mengidentitaskan diri secara kuat dengan Buddha Amitābha — menjadi satu dengan Amitābha dan ikrar-Nya demi menyelamatkan semua makhluk. Kelahiran di Tanah Suci, karenanya, merupakan sebuah kejadian yang alamiah. Aspek inilah yang secara khusus mencirikan mazhab Tanah Suci.

Dalam totalitasnya, Tanah Suci mencerminkan ajaran-ajaran Buddhisme sebagaimana yang dinyatakan Avataṃsaka Sūtra: identitas timbal-balik dan kesalingtembusan semua & setiap hal — metode yang paling sederhana mengandung yang terpuncak, dan yang terpuncak dapat dijumpaï dalam yang paling sederhana.²






CATATAN:

¹ Lihat petikan berikut mengenaï praktik Bodhisattva, diambil dari “Perilaku dan Ikrar Bodhisattva Samantabhadra” yang terkenal:

Karena semua mahluklah mereka membangkitkan belas-kasih agung. Dari belas-kasih agung bodhicitta terlahir; dan karena bodhicitta, mereka mencapai Pencerahan Tertinggi dan Sempurna.

(Avataṃsaka Sutra, jilid 40)


² Hal ini diperlihatkan dengan jelas dalam Avataṃsaka Sūtra, khususnya sūtra ke-26 yang memaparkan fase terakhir dari praktik seorang Bodhisava sebelum Kebuddhaan final. Dalam sūtra tersebut diajarkan bahwa, dalam masing-masing dan setiap tingkatan (bhūmi) tunggal, tindakan-tindakan sang Bodhisattva “tak pernah melewatkan Pelafalan Buddha”:

Inilah ringkasan Sepuluh Tingkatan dari para makhluk pencerah [Bodhisattva], yang disebut Awan Ajaran …. Laku apa pun yang mereka jalani, entah melalui bederma, atau ucapan yang ramah, atau tindakan yang menguntungkan, atau kerjasama, semuanya tak pernah terpisah dari perenungan-perenungan akan Buddha [Pelafalan Buddha], Dharma, Saṅgha ….

(Thomas Cleary, terj., The Flower Ornament Scripture, vol. II, hlm. 111)

Catatan: Perenungan akan Buddha = Pelafalan Buddha.

Komentar

Alangkah langkanya Sang Śākyamuni! Alangkah sukar yang dilakukan Sang Śākyādhirāja, yang mampu di Dunia Sahā dengan lima kekeruhannya ini merealisasi Anuttara Samyak-saṃbodhi dan, demi semua makhluk, membabarkan Dharma yang sukar dipercaya seisi dunia!