Tradisi Tanah Suci


(Diterjemahkan dari artikel berbahasa Inggris “The Pure Land Tradition” oleh Văn Hiền Study Group, yang pertama kali termuat dalam buku Pure-Land Zen, Zen Pure-Land: Letters from Patriarch Yin Kuang [selanjutnya disingkat PLZZPL] terbitan Sutra Translation Committee of the United States and Canada, New York [1992]. Artikel ini lalu dikutip sebagai apendiks dalam cetakan pertama Pure Land of the Patriarchs [PLP] oleh penerbit yang sama [1993], dengan perubahan-perubahan minor dan penghilangan seksi C. Selain itu, urutan seksi B.i dan B.ii juga dibalik. Versi PLP inilah yang terutama akan kita ikuti untuk terjemahan di bawah. Namun, dalam versi daring [edisi kedua? — tertanggal Februari 1994 pada pengantar tentang pengarang] terjadi revisi signifikan atas seksi B secara menyeluruh. Editor tidak lagi mencantumkan “orig. pub. in Pure-Land Zen, Zen Pure-Land” sebagai sumbernya. Revisi atas seksi B tersebut akan kita terjemahkan secara terpisah di sini.)






Sasaran dari semua praktik Buddhis adalah untuk mencapai Pencerahan dan melampaui siklus kelahiran & kematian — yakni, untuk mencapai Kebuddhaan. Dalam tradisi Mahāyāna, prasyarat untuk Kebuddhaan ialah bodhicitta, tekad untuk mencapai Pencerahan demi keuntungan semua makhluk, termasuk diri sendiri.¹

Karena semua makhluk berbeda kapasitas dan kencenderungan spiritualnya, banyak tataran ajaran dan berbilang-bilang metode yang dirancang demi menjangkau setiap orang. Secara tradisional, sūtra-sūtra menyebutkan ada 84.000 metode (yakni: angka yang tak-terhingga) yang bergantung pada keadaan, waktu, dan target pendengarnya. Semua metode ini adalah siasat — obat yang berbeda-beda untuk individu yang berbeda-beda dengan penyakit berbeda-beda pada waktu berbeda-beda — tetapi secara intrinsik semuanya sempurna dan lengkap.² Dalam masing-masing metode, keberhasilan atau kegagalan pembinaan seseorang tergantung pada kedalaman praktik serta pemahamannya, yakni pada batinnya.


  1. Daya-sendiri, Daya-lain


  2. Sepanjang sejarah, para patriark telah mengembangkan berbagai sistem penggolongan metode-metode Dharma & sūtra-sūtra yang menjelaskan metode-metode tersebut di dalamnya. Salah satu pembagian yang sederhana adalah menjadi metode-metode yang berdasar usaha sendiri (daya-sendiri) dan yang bersandar pada bantuan para Buddha & Bodhisattva (daya-lain).³ Pembedaan ini, tentu saja, hanya untuk tujuan heuristik*, sebab Kebenaran pada puncaknya adalah satu dan tak-terbagi: daya-sendiri adalah daya-lain, daya-lain adalah daya-sendiri.

    Secara tradisional, kebanyakan mazhab dan metode Buddhis mengambil pendekatan daya-sendiri: kemajuan di sepanjang jalan menuju Pencerahan tercapai hanya melalui usaha pribadi yang intens dan terus-menerus. Karena melibatkan dedikasi dan usaha, mazhab-mazhab yang bertradisikan daya-sendiri/usaha-sendiri tersebut semuanya memiliki bias: kebiaraan yang asing. Umat awam secara umum hanya memainkan peran pendukung, sementara mereka yang terdepan secara spiritual idealnya bergabung dengan ordo para bhikṣu dan bhikṣuṇī.* Yang paling terkenal dari tradisi-tradisi tersebut adalah Theravāda dan Zen.

    Paralel dengan hal ini, khususnya sesudah berkembangnya pemikiran Mahāyāna dan kebangunan Buddhisme awam, tradisi yang lebih fleksibel akhirnya muncul, memadukan daya-sendiri dengan daya-lain: bantuan dan dukungan yang disediakan para Buddha dan Bodhisattva bagi para pencari Jalan yang tulus. Yang paling mewakili tradisi ini adalah mazhab-mazhab: Esoteris dan Tanah Suci. Tetapi, berbeda dengan yang pertama (atau dengan Zen), Tanah Suci tidak menekankan hubungan guru–murid, dan mengendurkan peran sub-sub mazhab, rōshi-rōshi, dan ritual-ritual. Selain itu, tujuan utama mazhab Tanah Suci — kelahiran di Tanah Sukhāvatī berkat daya ikrar-ikrar Buddha Amitābha* — merupakan sebuah sasaran yang realistis, walau harus dimengerti pada beberapa tataran. Di sanalah letak pesona dan kekuatan mazhab Tanah Suci.

  1. Tanah Suci Selayang Pandang
    (Revisi PLP versi daring atas seksi ini diterjemahkan di sini)


  2. Tanah Suci, seperti semua mazhab Mahāyāna, pertama-tama dan terutama menuntut pengembangan bodhicitta, tekad untuk mencapai Pencerahan demi keuntungan semua makhluk. Dari titik awal ini, paham-paham utama mazhab ini dapat dimengerti pada dua tataran utama: yang transendental dan yang populer — tergantung pada latar belakang dan kapasitas sang pembina.


    1. Pada tataran transendental*, yakni bagi para pembina dengan kapasitas spiritual tinggi, metode Tanah Suci, seperti metode-metode lainnya, membalikkan batin biasa yang keliru kepada Batin Sejati dari Hakikat-Diri. Dalam prosesnya, kebijaksanaan dan Kebuddhaan pada akhirnya tercapai. Ini dicontohkan dengan nasihat berikut oleh Guru Zen terkemuka Chu-hung (Jp. Shukō), salah satu dari tiga “Gajah-Naga” Tiongkok antara abad ke-16 dan -17:

      Saat ini engkau cuma harus melafalkan nama Buddha dengan kemurnian dan penyorotan. Kemurnian berarti melafalkan nama Buddha tanpa pemikiran-pemikiran lainnya. Penyorotan berarti merefleksikan kembali sementara engkau melafalkan nama Buddha. Kemurnian adalah śamatha, ‘penghentian’. Penyorotan adalah vipaśyanā, ‘pengamatan’. Satukan perhatianmu akan Buddha melalui pelafalan nama Buddha, maka penghentian dan pengamatan hadir bersamaan.

      (J.C. Cleary, Pure Land, Pure Mind)

      Sebagaimana dinyatakan dalam risalah Buddhism of Wisdom and Faith:*

      Jikalau kita memiliki akar dan temperamen sebagai pengikut Mahāyāna, seharusnya secara alami kita paham bahwa sasaran dari Pelafalan Buddha adalah untuk mencapai Kebuddhaan …. Mengapakah sasaran Pelafalan Buddha adalah untuk menjadi seorang Buddha? Karena, saat kita mulaï melafal, masa lampau, masa kini, dan masa datang kehilangan perbedaannya; tampilan luar eksis, tetapi mereka telah kita tinggalkan; materi adalah kekosongan, pemikiran adalah sama dengan Tanpa-Pemikiran; ranah Hakikat Asali dari Tathāgata, “yang terpisah dari pemikiran”, telah kita tembus. Keadaan inilah Kebuddhaan; apa lagi yang mungkin?


      Bentuk transenden Tanah Suci ini dipraktikkan oleh mereka dengan kapasitas spiritual tertinggi:* “Batin ini ialah Buddha … ketika Batin murni, tanah Buddha-nya juga murni ... melafalkan nama Buddha ialah melafalkan Batin.” Demikianlah, pada tataran transendental, Tanah Suci identik dengan Zen, Tanah Suci adalah Zen, Zen adalah Tanah Suci.


    2. Dalam bentuk populernya, yakni bagi para praktisi biasa di Masa Kemerosotan* ini (26 abad sedikitnya sejak kemangkatan Buddha historis), Tanah Suci meliputi pencarian kelahiran di negeri Buddha Amitābha. Ini dapat tercapai dalam satu jangka-kehidupan melalui praktik Pelafalan Buddha disertaï keyakinan yang tulus dan ikrar, mengarah pada keterpusatan batin atau samādhi.

      Para penganut mazhab ini menghormati Buddha Amitābha dan tidak mencari Nirvāṇa seketika itu juga, melainkan kelahiran kembali di ... “Tanah Suci” Amitābha, yang disebut juga Sukhāvatī. Dalam lingkungan yang jelita itu, tiada timbunan karma buruk baru yang akan terbentuk dan semua yang telah ada akan menguap. Maka Nirvāṇa hanyalah tinggal beberapa langkah yang dekat.

      (J. Snelling, The Buddhist Handbook, hlm. 133–4)

      Jadi, pada tataran populer, Tanah Suci Buddha Amitābha merupakan sebuah lapangan berlatih yang ideal, sebuah lingkungan ideal di mana praktisi terlahir *berkat daya ikrar-ikrar Buddha Amitābha (daya-lain). Tidak lagi menjadi subjek kemunduran, telah meninggalkan selamanya kelahiran & kematian, sang pembina kini dapat memfokuskan segenap usahanya demi tujuan tertinggi Kebuddhaan. Aspek Tanah Suci inilah yang merupakan bentuk dikenalnya mazhab ini secara populer.¹⁰


    Dalam totalitasnya, Tanah Suci mencerminkan ajaran tertinggi Buddhisme sebagaimana dinyatakan dalam Avataṃsaka Sūtra: identitas timbal-balik dan kesalingtembusan semua & setiap hal* — metode yang paling sederhana mengandung yang terpuncak, dan yang terpuncak dapat dijumpaï dalam yang paling sederhana.¹¹

  1. (PLZZPL selanjutnya memuat, sebagai seksi C, “Keyakinan, Ikrar, dan Praktik”. Seksi ini dihapus dalam PLP dan seksi-seksi selanjutnya dimajukan penomorannya seperti di bawah.)

  1. Penyaluran Jasa


  2. Sentral bagi tradisi Tanah Suci ialah sosok Buddha Amitābha*, yang datang untuk mencontohkan teladan Bodhisattva dan doktrin penyaluran atau dedikasi jasa. Hal ini khususnya nampak dalam kisah hidup Bodhisattva Dharmākāra,¹² bakal Buddha Amitābha, sebagaimana diceritakan dalam sūtra-sūtra.

    Ide Mahāyāna tentang Buddha yang mampu menganugerahkan kekuatan-Nya kepada orang lain menandaï salah satu persimpangan pembeda zaman, yang memisahkan Mahāyāna dengan apa yang disebut … Buddhisme awal …. Kaum Mahāyānis menimbun persediaan jasa bukan sebagai bekal untuk pencerahan mereka sendiri saja, tetapi demi membudidayakan secara umum jasa-jasa yang dapat dinikmati bagiannya sama rata oleh rekan-rekan mereka sesama makhluk, yang hayati maupun non-hayati. Inilah arti sebenarnya Pariṇamanā, yaïtu: pengalihan jasa-jasa sendiri kepada orang lain untuk keuntungan spiritual mereka.

    (D.T. Suzuki, terj., The Laṅkāvatāra Sūtra, hlm. xix)

    Alasan untuk perilaku demikian, yang pada permukaannya terlihat berlawanan dengan hukum sebab & akibat, dapat dijelaskan dalam petikan berikut berkenaan dengan salah satu dari tiga Ārya di Tanah Suci, Bodhisattva Avalokiteśvara (Kuan-yin):

    Beberapa dari kita mungkin bertanya apakah akibat karma dapat dibalikkan dengan mengulang-ulang nama Kuan-yin. Pertanyaan ini dipertalikan dengan pertanyaan tentang kelahiran kembali [di Tanah Suci], dan boleh dijawab dengan mengatakan bahwa penyeruan nama Kuan-yin membentuk sebuah sebab lain yang dapat segera mengimbangi karma sebelumnya. Kita tahu, sebagai contoh, jika terdapat mendung dan awan tebal yang menggelantung, kemungkinan akan terjadi hujan. Tetapi, kita juga tahu kalau ada angin kencang berhembus, awan itu akan terbawa entah ke mana, dan kita tidak akan merasakan hujan. Mirip dengan itu, penambahan sebuah faktor besar dapat mengubah jalan keseluruhan karma ….

    Hanya dengan menerima ide kehidupan sebagai satu keutuhanlah maka baik kaum Theravādin maupun Mahāyānis dapat menganjurkan praktik penyaluran jasa kepada orang lain. Dalam kasus Kuan-yin, karenanya, dengan memanggil nama-Nya kita mengidentitaskan diri kita dengan-Nya dan, sebagai hasil dari identifikasi ini, jasa-jasa-Nya melimpah kepada kita. Jasa-jasa ini, yang kini menjadi milik kita, selanjutnya mengimbangi karma buruk kita dan menyelamatkan kita dari malapetaka. Hukum sebab & akibat masih berlaku normal. Apa yang terjadi hanyalah sebuah karma yang teramat baik dan kuat telah mendominasi yang lebih lemah ….

    (Kuliah mengenaï Kuan-yin oleh* Tech Eng Soon — Penang Buddhist Association, k.l. 1960 [pamflet])

    Konsep penyaluran jasa ini, yang mensyaratkan batin yang reseptif pada sisi sang pembina, ditekankan dalam Tanah Suci. Akan tetapi, konsep ini juga terdapat — meski dalam bentuk embrionik — dalam tradisi Theravāda, sebagaimana dicontohkan dalam kisah Venerabilis Aṅgulimāla yang indah.¹³

  1. Keyakinan dan Batin


  2. Keyakinan adalah sebuah komponen penting Buddhisme Tanah Suci.¹⁴ Akan tetapi, kebijaksanaan atau Batin juga memainkan peran krusial, walau kurang nampak. Kesalinghubungan ini dilukiskan dengan jelas dalam Meditation Sūtra: pendosa terburuk, yang bersalah atas pembunuhan ibu dan pembunuhan orangtua, dsb. masih dapat mencapai kelahiran di Tanah Suci jika, di ambang mautnya, ia melafalkan nama Buddha satu hingga sepuluh kali dengan segenap keyakinan dan ketulusan.

    Petikan ini dapat dipahami pada dua tataran. Pada tataran sehari-hari, layaknya seorang penjahat yang suatu kali sungguh-sungguh memperbaiki diri sehingga tidak lagi menjadi ancaman bagi masyarakat dan boleh diampuni, sang pendosa sekali benar-benar bertobat, berkat daya ikrar dari Buddha Amitābha, bisa mencapai kelahiran di Tanah Suci — meski pada jenjang terendah yang mungkin*. Demikianlah, Tanah Suci menawarkan harapan bagi setiap orang; namun pada waktu yang bersamaan hukum sebab & akibat tetap sahih.

    Pada tataran prinsipiil atau batiniah yang lebih tinggi*, sebagaimana diajarkan oleh Patriark Keenam dalam Platform Sūtra:

    … sebuah pemikiran bodoh yang terlintas menjadikan seseorang orang biasa, sementara sebuah pemikiran tercerahkan yang kedua menjadikan seseorang Buddha.


    Jadi, sekali seorang pendosa bertobat dan melafalkan nama Buddha dengan segenap ketulusan dan keterpusatan batin, pada saat itu juga* ia menjadi seorang pribadi yang terbangkit, yang secara senyap melebur ke dalam arus para Ārya — masihkah Kebuddhaan, dengan demikian, jauh lagi? Sebagaimana Meditation Sūtra menyatakan: “Tanah Buddha Amitābha tidaklah jauh dari sini!”


Maka inilah tradisi Tanah Suci, yang menyelaraskan praktik sehari-hari dan yang transendental, daya-sendiri dan daya-lain. Tradisi ini, menurut semua penuturan, merupakan salah satu pilar dari bangunan besar Mahāyāna, tradisi luhur dari Bodhisattva-Bodhisattva agung: Avalokiteśvara dan Samantabhadra — begitu luhurnya sehingga Tanah Suci telah, selama berabad-abad, menjadi salah satu bentuk Buddhisme yang paling bertahan dan tersebar luas di Asia.¹⁵



Văn Hiền Study Group
Musim gugur, 1992*







CATATAN:

¹ Lihat petikan berikut, oleh mendiang pendiri Buddhist Lodge dan Buddhist Society (London), mengenaï sasaran sejati dari semua praktik Buddhis:

Di Barat, kebutuhan akan sedikit bimbingan dalam pengembangan-batin telah dibuat-buat genting … oleh kemunculan mendadak sejumlah buku yang, entah apa motif pengarangnya, berbahaya seekstrem-ekstremnya. Tidak pernah disebutkan di dalamnya tentang satu-satunya motif yang benar bagi pengembangan-batin: pencerahan sang meditator demi menguntungkan seluruh umat manusia*; dan pembaca dituntun untuk mempercayaï bahwa cukup sah mempelajari dan mempraktikkan Perhatian Penuh (mindfulness), serta tingkatan-tingkatan susulan yang lebih tinggi, demi manfaat seperti: efisiensi bisnis dan menaikkan gengsi pribadi. Dalam situasi seperti inilah Concentration and Meditation … disusun dan diterbitkan oleh [British] Buddhist Society, dengan penekanan terus-menerus tentang pentingnya motif yang benar dan peringatan memadaï akan bahaya-bahaya, mulaï dari sakit kepala hingga kegilaan, yang menanti mereka yang bermain-main dengan kekuatan terhebat di bumi: pikiran manusia.

(Christmas Humphreys, The Buddhist Way of Life, hlm. 100)


² *Lihat petikan berikut dari D.T. Suzuki:

Teologi Buddhis memiliki teori komprehensif yang apik untuk menjelaskan beraneka tipe pengalaman dalam Buddhisme, yang kelihatan begitu bertentangan satu sama lain. Kenyataannya, sejarah Buddhisme Tiongkok adalah sebuah rangkaian ikhtiar-ikhtiar untuk merekonsiliasi sekolah-sekolah yang beragam …. Berbagai cara klasifikasi dan rekonsiliasi diajukan, dan … kesimpulannya adalah sbb.: Buddhisme memasok kita dengan begitu banyak pintu untuk memasuki kebenaran karena demikian bervariasinya karakter dan temperamen dan lingkungan manusia seturut dengan keberagaman karmanya. Hal ini dengan terang digambarkan dan diajarkan oleh Buddha sendiri ketika Ia mengatakan bahwa “air yang sama yang diminum sapi dan kobra berubah pada yang satu menjadi susu dan pada yang lain bisa mematikan”, serta “obat harus diberikan berdasarkan penyakitnya”. Ini disebut doktrin upaya [yang terampil]. …

(The Eastern Buddhist, vol. 4 no. 2, hlm. 121)


³ Daya-lain:

“Bantuan tak kasat mata — disediakan oleh para Buddha & Bodhisattva Pengobatan — dapat menjadi sebuah pertolongan yang ampuh dalam proses [pelenyapan keserakahan, kebencian, dan kebodohan] ini. Bantuan ini seringkali digambarkan berakar dari kekuatan tekad-tekad lampau Mereka.”

(Raoul Birnbaum, The Healing Buddha, hlm. xv)

Daya ini, tentu saja, umum dimiliki semua Buddha & Bodhisattva.*


⁴ Lihat petikan berikut dari D.T. Suzuki:

Jiriki (daya-sendiri) adalah … aspek [kebijaksanaan] dari Pencerahan, dan tariki (daya-lain) adalah … aspek [belas-kasih agung] hal yang sama. Dengan [kebijaksanaan] kita melampaui prinsip pengindividuan, dan dengan [belas-kasih agung] kita nuzul ke dalam dunia partikuler-partikuler. Yang satu pergi ke atas, sementara yang satu lagi datang ke bawah; tetapi ini adalah cara intelektual kita untuk memahami dan menafsirkan Pencerahan, yang dalam pergerakannya sesungguhnya tiada arah rangkap-dua demikian yang dapat terdeteksi.

(The Eastern Buddhist, vol. 3 no. 4, hlm. 314)


⁵ Sebagai sebuah gambaran historis, akar-akar [mazhab] Tanah Suci berpangkal hingga ke India Kuno, kendati tradisi ini tidak ditekankan di sana:*

Meskipun sebuah kultus yang dibaktikan pada pemujaan Amitābha memang muncul di India, kesalehan kepada Buddha ini kelihatannya hanyalah salah satu dari banyak praktik-praktik Buddhisme Mahāyāna awal.

(Elizabeth ten Grotenhuis, dalam Joji Okazaki, Pure Land Buddhist Painting, hlm. 14)

Manakala Buddhisme Mahāyāna menyebar ke Tiongkok, akan tetapi, ide-ide Tanah Suci menemukan lahan subur bagi perkembangannya. Di abad ke-4 gerakan ini terwujud dengan pembentukan Paguyuban Teratai yang didirikan oleh Master Hui-yüan (334–416), patriark pertama Tanah Suci. Sekolah ini dibakukan di bawah patrirak-patriark: T’an-luan (Jp. Donran) dan Shan-tao (Jp. Zendō). Ajaran-ajaran Master Shan-tao, khususnya, berpengaruh besar terhadap perkembangan Tanah Suci Jepang, yang diasosiasikan dengan Hōnen Shōnin (Sekolah Jōdo) dan siswanya, Shinran Shōnin (Sekolah Jōdo Shinshū), di abad ke-12 dan -13.*

Catatan: Sebuah bentuk awal Pelafalan Buddha dapat ditemukan dalam Nikāya-Nikāya Kanon Pāli:

Dalam Nikāya-Nikāya, Buddha … menganjurkan siswa-siswa-Nya untuk merenungkan-Nya dan kebajikan-kebajikan-Nya seolah-olah melihat tubuh-Nya di depan mata mereka, sehingga mereka akan dimampukan untuk menghimpun jasa dan meraih Nirvāṇa atau terselamatkan dari kelahiran di jalur-jalur rendah ….

(D.T. Suzuki, The Eastern Buddhist, vol. 3 no. 4, hlm. 317)


⁶ Lihat petikan berikut mengenaï praktik Bodhisattva, diambil dari “Perilaku dan Ikrar Bodhisattva Samantabhadra” yang terkenal:*

Karena semua mahluklah mereka membangkitkan belas-kasih agung. Dari belas-kasih agung bodhicitta terlahir; dan karena bodhicitta, mereka mencapai Pencerahan Tertinggi dan Sempurna.

(Avataṃsaka Sutra, jilid 40)


*Batin (pemikiran) biasa yang keliru mencakup perasaan, impresi, konsepsi, kesadaran, dsb. Batin Sejati adalah hakikat mendasar, Wajah Asali, realitas, hakikat Kebuddhaan, dsb. Batin Sejati bagi batin biasa adalah seumpama air bagi ombak — keduanya tidak dapat diceraikan. Mereka sama tetapi sekaligus juga berbeda. Semua metode pembinaan bertujuan untuk meneduhkan ombak-ombak, memulihkan air kepada ketenangan asalinya.


⁸ Lihat petikan berikut dari D.T. Suzuki:

Kita mengamati bahwa kehidupan Buddhis, bahkan dalam bentuk devosional yang sangat ekstrem seperti yang ditampilkan [mazhab Tanah Suci], mulaï … mendekati corak Zen dalam tingkatan terakhir “peristirahatan spiritual”-nya. Sungguh di sinilah letak kesatuan pengalaman Buddhis lewat segala ekspresinya yang beragam.

(D.T. Suzuki, The Eastern Buddhist, vol. 4 no. 2, hlm. 121)


⁹ Teks Ikrar Asasi (Kedelapanbelas) adalah sebagai berikut:

Apabila, setelah Aku memperoleh Kebuddhaan, semua makhluk di sepuluh penjuru berhasrat dengan ketulusan dan keyakinan penuh untuk terlahir di negeri-Ku, dan jikalau mereka tidak terlahir berkat hanya merenungkan-Ku sepuluh kali … semoga Aku tidak mencapai Pencerahan Tertinggi.

(Meditation Sūtra, dikutip oleh Elizabeth ten Grotenhuis, op.cit., hlm. 15)


¹⁰ Mengenaï pertanyaan terkait tentang apakah Tanah Suci itu eksis atau Hanya-Batin, lihat perkataan Guru Zen terkemuka Chu-hung (abad ke-16):

Beberapa orang mengatakan bahwa Tanah Suci itu tidak bukan ialah batin, bahwa tiada Tanah Suci Sukhāvatī nun melampaui triliunan dunia dari jagat raya ini. Omongan tentang “hanya-batin” ini bersumber dari perkataan dalam sūtra-sūtra, dan memang benar, bukannya salah. Namun, mereka yang mengutipnya dalam cara ini keliru memahami maksudnya.

Batin setara objek: tiada objek-objek di luar batin. Objek setara batin: tiada batin di luar objek-objek. Apakah, karena objek-objek sepenuhnya batin, kita harus melekat pada batin dan membuang objek? Mereka yang membuang objek ketika sedang mengomongkan batin belum sepenuhnya mengerti batin.

(J.C. Cleary, Pure Land, Pure Mind)*

Tolong catat bahwa pemahaman akan hakikat ganda Tanah Suci, sebagai Hanya-Batin dan sebagai entitas terpisah, membutuhkan praktik — bukan penalaran intelektual.

Dalam pemikiran Barat yang sekuler, keinsafan akan proyeksi psikologis sebagai sebuah sumber makhluk-makhluk supranatural telah memicu demitologisasi segala setan, hantu, malaikat, orang kudus, dan merampok kuasanya dari mereka. Bardo Thodol [Tibetan Book of the Dead], bagaimanapun juga, menyebut deitas-deitas itu sebagai “proyeksi”, namun tidak pernah sebagai “cuma proyeksi”. Deitas-deitas itu adalah hadir dan harus diperlakukan secara religius … bukan hanya dengan wawasan intelektual.

(D.G. Dawe dalam The Perennial Dictionary of World Religions, hlm. 93)


¹¹ *Hal inidiperlihatkan dengan jelas dalam Avataṃsaka Sūtra, khususnya sūtra ke-26 yang memaparkan fase terakhir dari praktik seorang Bodhisava sebelum Kebuddhaan final. Dalam sūtra tersebut diajarkan bahwa, dalam masing-masing dan setiap tingkatan (bhūmi) tunggal, tindakan-tindakan sang Bodhisattva “tak pernah melewatkan Pelafalan Buddha”:

Inilah ringkasan Sepuluh Tingkatan dari para makhluk pencerah [Bodhisattva], yang disebut Awan Ajaran …. Laku apa pun yang mereka jalani, entah melalui bederma, atau ucapan yang ramah, atau tindakan yang menguntungkan, atau kerjasama, semuanya tak pernah terpisah dari perenungan-perenungan§ akan Buddha [Pelafalan Buddha], Dharma, Saṅgha ….

(Thomas Cleary, terj., The Flower Ornament Scripture**, vol. II, hlm. 111)


¹² Lihat petikan berikut:

Teks [Amitābha Sūtra panjang] … yang telah ada sebelum tahun 200 M, memaparkan sebuah khotbah yang dipersembahkan oleh Buddha Śākyamuni … sebagai jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan siswa-Nya, Ānanda. Śākyamuni menceritakan kisah Bodhisattva Dharmākāra, yang berkalpa-kalpa lampau telah tergugah secara mendalam oleh penderitaan makhluk-makhluk hidup, dan telah bertekad untuk mendirikan sebuah Tanah Kebahagiaan di mana semua makhluk boleh mengalami kelepasan dari kesakitan mereka …. Di hadirat Buddha ke-81 dari masa lampau, Lokeśvararāja, Dharmākāra membuat 48 ikrar sehubungan dengan firdaus ini, dan berjanji bahwa Ia takkan menerima Pencerahan apabila Ia tidak mampu mencapai sasaran-sasaran-Nya …. Tatkala, sesudah masa yang tak terhitung, Dharmākāra mencapai Pencerahan dan menjadi seorang Buddha, kondisi-kondisi bagi ikrar [ke-18]-Nya terpenuhi: Ia menjadi penguasa Sukhāvatī, firdaus sebelah barat, di mana yang berkeyakinan akan terlahir dalam kebahagiaan, untuk melaju di sana melalui tingkatan-tingkatan keinsafan yang semakin tinggi, hingga mereka akhirnya mencapai Pencerahan.

(Elizabeth ten Grotenhuis, dalam Joji Okazaki, Pure Land Buddhist Painting, hlm. 14–15)


¹³ Kisah hidup Venerabilis Aṅgulimāla adalah salah satu tuturan yang paling menyentuh dalam kanon Theravāda. Setelah membunuh sembilan puluh sembilan orang*, Aṅgulimāla dihijrahkan oleh Buddha, bertobat atas cara hidupnya yang jahat, dan bergabung dengan saṅgha:

Suatu hari, sementara ia berkeliling dalam perjalanannya mengumpulkan derma, ia melihat seorang wanita yang sedang bersalin. Tergugah karena belas-kasihan, dilaporkannya penderitaan wanita malang ini kepada Buddha. Beliau kemudian menasihatinya untuk mengucapkan pernyataan kebenaran berikut, yang belakangan dikenal sebagai Aṅgulimāla Paritta (Mantra) …

“Saudari, semenjak kelahiranku dalam keluarga Ārya [yakni: sejak penahbisanku] tiadalah kuketahui apabila secara sadar pernah kuhancurkan kehidupan makhluk hidup mana pun. Berkat kebenaran ini semoga engkau selamat dan semoga anakmu selamat.”

Pergilah ia ke hadapan saudari yang menderita itu … dan mengucapkan perkataan ini. Dalam sekejap, wanita itu melahirkan anaknya dengan kemudahan.

(Narada Maha Thera, The Buddha and His Teaching, hlm. 124)


¹⁴ Keyakinan merupakan elemen penting dalam segala tradisi Buddhis, tetapi begitu penting khususnya dalam Tanah Suci. Lihat petikan berikut dari Avataṃsaka Sūtra:

Keyakinan ialah dasar dari Jalan, ibu kebajikan,
Penumbuhkembang segala dharma yang baik …
Keyakinan mampu meningkatkan pemahaman dan jasa;
Keyakinan mampu memastikan ketibaan pada Pencerahan.

(Thomas Cleary, terj., The Flower Ornament Scripture, vol. 1, hlm. 331)*


¹⁵ *Keresapan ajaran Tanah Suci adalah sedemikian sehingga praktik utamanya, Pelafalan Buddha, dapat ditemukan dalam mazhab-mazhab: Esoteris maupun Zen. Dalam Tanah Suci, Pelafalan Buddha dipraktikkan dengan tujuan untuk mencapai kelahiran di Tanah Buddha Amitābha sebagai batu loncatan menuju Kebuddhaan§. Dalam mazhab Esoteris, tujuannya** adalah untuk menghancurkan karma buruk & kekotoran batin, memperoleh penjagaan terhadap setan-setan††dan membangkitkan berkah & kebijaksanaan dalam jangka-kehidupan sekarang juga. Dalam Zen, kōan Pelafalan Buddha dimaksudkan untuk memotong pemikiran keliru dan merealisasi Batin Sejati Hakikat-Diri. Sasaran puncak dari ketiga mazhab, tentu saja, semuanya sama: untuk mencapai Pencerahan dan Kebuddhaan.

Komentar

Alangkah langkanya Sang Śākyamuni! Alangkah sukar yang dilakukan Sang Śākyādhirāja, yang mampu di Dunia Sahā dengan lima kekeruhannya ini merealisasi Anuttara Samyak-saṃbodhi dan, demi semua makhluk, membabarkan Dharma yang sukar dipercaya seisi dunia!